Di dalam sistem hukum Nasional Indonesia dikenal beberapa hukum yang berlaku atau lebih dikenal sebagai Plurarisme hukum yang artinya terdapat beberapa aturan hukum yang berlaku dalam suatu wilayah antara lain Hukum Nasional (State Law) yang biasanya berupa peraturan perUndang-Undangan, Hukum Islam yang hanya diperuntukkan bagi umat Islam, dan juga Hukum Adat (Folk Law) yang lingkup berlakunya hanya terbatas pada lingkup masyarakat adat tersebut.
Hukum Nasional (State Law) jelas berupa peraturan perUndang-Undangan baik dalam tingkat nasional yang disebut Undang-Undang dan tingkat daerah yang disebut Peraturan daerah yang keduanya merupakan produk hukum dari badan legislatif dan badan eksekutif, namun mengenai Hukum Adat (Folk Law) terdapat banyak definisi dari para ahli hukum antara lain menurut M.M. Djojodiguno Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam masyarakat demi kesejahteraan masyarakat sendiri. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan di pihak lain tidak dikodifikasi. Dari beberapa definisi para tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis tentang aturan tingkah laku dengan tujuan demi kesejahteraan masyarakat adat tersebut.
Mengingat Hukum Adat lebih bersifat tradisional serta kedaerahan karena hanya berlaku bagi daerah adat tertentu maka seringkali terjadi pertentangan antara Hukum Nasional dengan Hukum Adat. Hal ini sering terjadi karena memang sifat dari Hukum Nasional ialah menguniversalkan suatu peraturan, jadi dalam Hukum Nasional terdapat tujuan berupa unifikasi hukum yakni satu hukum yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, hal ini bertolak belakang dengan sifat Hukum Adat yang berbeda-beda antara satu wilayah adat dengan wilayah adat yang lain.
Perlu diingat juga bahwa dalam Negara Hukum dianut asas Legalitas yang artinya sumber hukum adalah peraturan tertulis, padahal sifat dari Hukum Adat adalah tidak tertulis, sehingga walaupun Indonesia masih mengakui adanya eksistensi dari Hukum Adat namun tetap dapat dijumpai bentuk konflik atau pertentangan antara Hukum Nasional dengan Hukum Adat suatu daerah tertentu.
Salah satu bentuk pertentangan Hukum Nasional dengan Hukum Adat ialah ketentuan mengenai waris. Pertentangan masalah waris ini terlihat dari adanya pertentangan antara ketentuan dalam Hukum Perdata Nasional yang masih bersumber pada Burgerlijk Wetbook (BW) yang dikenal dengan KUHPerdata dengan ketentuan pada Hukum Adat Batak.
Di dalam KUHPerdata, ketentuan mengenai wasiat terdapat dalam Buku II yakni mulai pasal 833 , 834, 1100 dll. Dalam pasal 833, dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si meninggal. Sehingga atas dasar pasal 833 KUHPerdata ini maka Hukum Nasional Indonesia mengenai waris menganut sistem pembagian sama rata antara para ahli waris atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari pewaris
Dalam kebudayaan Batak menetapkan, bahwa hanya anak laki-laki yang mempunyai hak waris atas harta, sementara anak perempuan hanya memiliki hak terbatas, yakni ‘hak meminta’ berdasarkan cinta kasih. Hal ini dilatarbelakangi paradigma masyarakat adat Batak bahwa perempuan tidak (belum) sepenuhnya setara dengan laki-laki. Dalam adat batak, anak laki-laki dianggap sebagai penerus keluarga. Dan sering kali anak laki-laki dianggap lebih berharga dari anak perempuan. Walaupun dalam masyarakat adat Batak terdapat ungkapan pepatah yakni ‘Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru” (Kedudukan anak dan perempuan sama), namun dalam kondisi riil ternyata jauh berbeda.
‘Hak meminta’ diatas mengandung makna, bahwa anak perempuan yang orang tuanya tidak mampu, sebaiknya jangan meminta karena tidak ada yang bisa diberikan kepada anak perempuan tersebut, sementara bagi anak perempuan yang orang tuanya mampu, ia tidak akan diberi kecuali ia meminta, jadi jika ingin mendapat bagian atas waris maka seorang wanita diwajibkan memintanya, sehingga tidak tepat jika ini disebut waris karena bentuknya berupa meminta maka lebih tepat jika disebut sebagai pemberian dari orang tua kepada anak perempuannya. ‘hak meminta’ pun masih ambiguous antara diberi dan tidak diberi. Sama dengan anak perempuan, seorang perempuan janda juga tidak memiliki hak waris dari mantan suaminya.
Ketika berstatus nikah, fungsi istri sebagai pengelola dan penikmat harta suami dan harta bersama untuk selanjutnya diserahkan kepada anak laki-lakinya ketika dewasa, tapi ketika terjadi perceraian (cerai mati/cerai hidup), maka perempuan janda tidak memiliki hak waris atas harta gono-gini, apalagi harta pusaka suaminya.
Dari uraian diatas jelas terlihat pertentangan antara pembagian waris dalam Hukum Nasional yang membagi waris dengan jumlah sama rata antara para ahli waris sedangkan dalam Hukum Adat Batak terdapat perbedaan dalam pembagian waris dimana pihak ahli waris perempuan tidak mendapatkan harta waris sama sekali kecuali jika ahli waris perempuan tersebut mengajukan “hak meminta”.
Hukum Nasional (State Law) jelas berupa peraturan perUndang-Undangan baik dalam tingkat nasional yang disebut Undang-Undang dan tingkat daerah yang disebut Peraturan daerah yang keduanya merupakan produk hukum dari badan legislatif dan badan eksekutif, namun mengenai Hukum Adat (Folk Law) terdapat banyak definisi dari para ahli hukum antara lain menurut M.M. Djojodiguno Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam masyarakat demi kesejahteraan masyarakat sendiri. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut Van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan di pihak lain tidak dikodifikasi. Dari beberapa definisi para tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis tentang aturan tingkah laku dengan tujuan demi kesejahteraan masyarakat adat tersebut.
Mengingat Hukum Adat lebih bersifat tradisional serta kedaerahan karena hanya berlaku bagi daerah adat tertentu maka seringkali terjadi pertentangan antara Hukum Nasional dengan Hukum Adat. Hal ini sering terjadi karena memang sifat dari Hukum Nasional ialah menguniversalkan suatu peraturan, jadi dalam Hukum Nasional terdapat tujuan berupa unifikasi hukum yakni satu hukum yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, hal ini bertolak belakang dengan sifat Hukum Adat yang berbeda-beda antara satu wilayah adat dengan wilayah adat yang lain.
Perlu diingat juga bahwa dalam Negara Hukum dianut asas Legalitas yang artinya sumber hukum adalah peraturan tertulis, padahal sifat dari Hukum Adat adalah tidak tertulis, sehingga walaupun Indonesia masih mengakui adanya eksistensi dari Hukum Adat namun tetap dapat dijumpai bentuk konflik atau pertentangan antara Hukum Nasional dengan Hukum Adat suatu daerah tertentu.
Salah satu bentuk pertentangan Hukum Nasional dengan Hukum Adat ialah ketentuan mengenai waris. Pertentangan masalah waris ini terlihat dari adanya pertentangan antara ketentuan dalam Hukum Perdata Nasional yang masih bersumber pada Burgerlijk Wetbook (BW) yang dikenal dengan KUHPerdata dengan ketentuan pada Hukum Adat Batak.
Di dalam KUHPerdata, ketentuan mengenai wasiat terdapat dalam Buku II yakni mulai pasal 833 , 834, 1100 dll. Dalam pasal 833, dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si meninggal. Sehingga atas dasar pasal 833 KUHPerdata ini maka Hukum Nasional Indonesia mengenai waris menganut sistem pembagian sama rata antara para ahli waris atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari pewaris
Dalam kebudayaan Batak menetapkan, bahwa hanya anak laki-laki yang mempunyai hak waris atas harta, sementara anak perempuan hanya memiliki hak terbatas, yakni ‘hak meminta’ berdasarkan cinta kasih. Hal ini dilatarbelakangi paradigma masyarakat adat Batak bahwa perempuan tidak (belum) sepenuhnya setara dengan laki-laki. Dalam adat batak, anak laki-laki dianggap sebagai penerus keluarga. Dan sering kali anak laki-laki dianggap lebih berharga dari anak perempuan. Walaupun dalam masyarakat adat Batak terdapat ungkapan pepatah yakni ‘Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru” (Kedudukan anak dan perempuan sama), namun dalam kondisi riil ternyata jauh berbeda.
‘Hak meminta’ diatas mengandung makna, bahwa anak perempuan yang orang tuanya tidak mampu, sebaiknya jangan meminta karena tidak ada yang bisa diberikan kepada anak perempuan tersebut, sementara bagi anak perempuan yang orang tuanya mampu, ia tidak akan diberi kecuali ia meminta, jadi jika ingin mendapat bagian atas waris maka seorang wanita diwajibkan memintanya, sehingga tidak tepat jika ini disebut waris karena bentuknya berupa meminta maka lebih tepat jika disebut sebagai pemberian dari orang tua kepada anak perempuannya. ‘hak meminta’ pun masih ambiguous antara diberi dan tidak diberi. Sama dengan anak perempuan, seorang perempuan janda juga tidak memiliki hak waris dari mantan suaminya.
Ketika berstatus nikah, fungsi istri sebagai pengelola dan penikmat harta suami dan harta bersama untuk selanjutnya diserahkan kepada anak laki-lakinya ketika dewasa, tapi ketika terjadi perceraian (cerai mati/cerai hidup), maka perempuan janda tidak memiliki hak waris atas harta gono-gini, apalagi harta pusaka suaminya.
Dari uraian diatas jelas terlihat pertentangan antara pembagian waris dalam Hukum Nasional yang membagi waris dengan jumlah sama rata antara para ahli waris sedangkan dalam Hukum Adat Batak terdapat perbedaan dalam pembagian waris dimana pihak ahli waris perempuan tidak mendapatkan harta waris sama sekali kecuali jika ahli waris perempuan tersebut mengajukan “hak meminta”.
0 komentar:
Posting Komentar